Delsos Larantuka

Senin, 21 Agustus 2017

PEMBUATAN PUPUK CAIR ORGANIK


"SELAMATKAN IBU BUMI"

                                                "SELAMATKAN IBU BUMI" 
     GAGASAN POKOK MINGGU I

BUMI KITA MEMPRIHATINKAN
Tujuan      : Supaya kita menyadari bahwa bumi kita memprihatinkan.

Kitab Suci :
Pokok Pikiran:

1.      REALITAS BUMI KITA

Berbicara tentang ibu bumi, tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan tentang semua yang ada di sekitar manusia, baik  berupa  benda, daya dan keadaan yang mempengaruhi kelangsungan makhluk hidup manusia. Konsep tentang ibu bumi itu sendiri, memiliki  unsur-unsur;  baik yang hidup (biotik) seperti manusia, tumbuhan, hewan, maupun yang  tidak hidup (abiotik) seperti tanah, air dan udara. Relasi antara unsur ini terjadi  saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Manusia bersama dengan ciptaan yang lain merupakan  bagian dari  ibu bumi,  dan keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang amat erat.
Paus Fransiskus, dengan mengutib kata-kata yang diungkapkan oleh St. Fransiskus dari Asisi, mengungkapkan betapa bumi kita sebagai ibu pertiwi, bahwa bumi kita adalah juga meruapakan rumah kita bersama adalah seperti seorang saudari yang dengannya kita berbagi hidup, dan seperti seorang ibu yang menawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menyuap dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan” (Laudato si’, art. 1).
Tetapi Kenyataan berbicara lain. Paus Fransiskus menunjukkan bahwa bumi sebagai ibu yang merahimi kehidupan termasuk manusia,  ternyata ibu bumi kita sedang mengalami satu situasi yang memprihatinkan. Saudari ini sekarang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpakan kepadanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita sampai berpikir bahwa kita adalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Dia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin “ (Rom 8:22). Kita telah lupa bahwa kita sendiri adalah debu tanah (Kej 2: 7); tubuh kita sendiri tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.

2.      REALITAS BUMI  DI WILAYAH KITA

Kenyataan menunjukkan bahwa bumi kita sedang sakit. Ada sekian banyak kenyataan yang menunjukkan betapa bumi kita sedang sakit.

2.1.         Pertambangan
Kegiatan pertambangan, khususnya yang bersifat terbuka semakin marak. Hingga tahun 2012 tercatat sebanyak 10.677 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari jumlah IUP tersebut, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) mencatat bahwa sejak tahun 2004 hingga 2012 terdapat 1.724 kasus penambangan yang merusak kawasan hutan secara ilegal. Pada tahun 2004, sebanyak 13 unit usaha tambang beroperasi di kawasan hutan lindung dan membabat areal hutan seluas 950.000 hektar. Di satu sisi, industri pertambangan memberikan manfaat terhadap perekonomian domestik, membuka lapangan kerja secara nasional dan regional, serta mengembangkan unit-unit ekonomi di sekitar kawasan tambang. Di sisi lain, pembukaan kawasan hutan yang dimulai dari penebangan hingga penggalian dan pembuangan limbah hasil tambang telah mengubah lahan dan merusak ekosistem setempat. Reklamasi  lahan bekas tambang tidak akan mampu mengembalikan keadaan semula. Setidaknya akan tetap tersisa wilayah dengan lobang bekas tambang.
Pengambilan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keberlanjutannya mengakibatkan sumber daya alam menipis. Laju kecepatan pengambilan lebih tinggi daripada laju kecepatan tumbuh. Sumber daya alam yang awalnya dimanfaatkan sebagai modal pembangunan akan semakin habis dan biaya perbaikan lingkungan semakin mahal. Di samping itu, konflik dan kekerasan antar masyarakat atau masyarakat dengan pemerintah akan semakin meningkat seiring terbatasnya akses pada sumber daya alam dan lahan untuk mendukung kehidupan. Masyarakat, pengusaha, dan pemerintah akan saling menyalahkan sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup.
Bagi masyarakat sekitar tambang, ganti rugi yang diterima sering tidak memadai dibanding-kan dengan penderitaan yang harus mereka alami karena kehilangan  mata pencarian dan akibat kerusakan lingkungan. Selain itu, masyarakat juga tidak lebih sejahtera karena hasil tambang lebih  banyak dinikmati oleh pemilik modal dan para pekerja yang sebagian besar berasal dari luar daerah penambangan.

3.      2. Perkebunan

Usaha perkebunan skala besar jauh lebih berkembang dibandingkan perkebunan rakyat. Data Dirjen Perkebunan menunjukkan bahwa pertambahan luas perkebunan kelapa sawit selama 10 tahun terakhir meningkat 88% yaitu dari 4,15 juta hektar di tahun 2000 menjadi 7,8 juta hektar pada tahun 2010. Sementara luas perkebunan karet relatif tetap dari 3,37 juta hektar pada tahun 2000 menjadi 3,44 juta hektar pada tahun 2010.[3] Sektor perkebunan telah memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat, memberikan nilai tambah terhadap pendapatan daerah dan ikut menumbuhkan sektor jasa transportasi. Meskipun begitu, pemberian ijin kawasan untuk perkebunan seringkali menim-bulkan permasalahan dengan masyarakat setempat karena mereka tidak diakui keberadaan-nya oleh pemerintah dan dianggap ilegal. Tidak adanya pengakuan atas hak hidup masyara-kat adat maupun masyarakat lain yang sudah lebih dahulu tinggal dan beraktivitas, membuat posisi mereka sangat lemah dan mudah dipermainkan.  Kelompok masyarakat ini belum terwadahi dalam peraturan pemerintah.  “Perasaan terusir dari lingkungannya sendiri, ketidakmampuan untuk ikut menikmati hasil bumi yang dipijaknya, dampak ekonomi dan sosial yang tidak selalu positif, semuanya menjadi dampak yang harus ditanggung oleh masyarakat.” Selain menimbulkan masalah sosial, perkebunan skala besar juga menyisakan kerusakan lingkungan yang harus diderita oleh alam dan manusia. Penggantian jenis tanaman menjadi monokultur, penggunaan pupuk dan pestisida yang terus menerus, pengambilan air tanah untuk keperluan tanaman, menjadikan  masyarakat kecil sebagai korban yang tidak berdaya.

1.   3. Kehutanan

Industri kehutanan telah ikut meningkatkan pendapatan negara lewat ekspor kayu tropis, dalam bentuk log, kayu gergajian, kayu lapis dan produk kayu lainnya.  Meskipun begitu, fungsi hutan yang sangat penting untuk kehidupan saat ini sudah berkurang seiring dengan kerusakannya yang semakin luas. Berdasarkan data Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan, luas lahan kritis dan sangat kritis tahun 2011 telah mencapai 29,3 juta hektar. Kerusakan hutan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:  “Penebangan kayu yang berlebihan, praktik illegal logging, semakin luas-nya areal penggunaan lain di mana hutan dapat dikonversi  untuk kepentingan  di luar sektor kehutanan seperti perkebunan, pertambangan, dan permukiman. Kerusakan tersebut tidak lepas dari peran para pengambil kebijakan yang sering hanya mendasarkan kebijakan pada pertimbangan keuntungan ekonomis semata. Pengawasan terhadap pengelolaan hutan yang lestari masih lemah, sanksi hukum terhadap para pelanggar peraturan tentang industri kehutanan juga masih rendah. Di samping itu, kesadaran  masyarakat akan pentingnya hutan untuk kehidupan belum merata. Fungsi sumber daya hutan masih tidak dipahami, sehingga kerusakan lingkungan dari hulu hingga hilir suatu kawasan tidak dilihat sebagai permasalahan sebab-akibat, melainkan permasalahan parsial termasuk penanganannya.
Kerusakan hutan  yang mengakibatkan bencana alam membuat biaya hidup masyarakat makin mahal. Biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk mengatasi banjir, tanah longsor, kekeringan dan krisis air bersih, perbaikan fasilitas publik seperti jalan, bangunan sekolah dan pemerintahan,  serta terganggunya kegiatan ekonomi masyarakat,  akan semakin meningkat. Masyarakat akan menanggung biaya hidup yang semakin tinggi karena pemerintah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasar  mereka.

2.      4. Pencemaran tanah

Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan-bahan kimia buatan manusia masuk dan mengubah lingkungan tanah alami. Tanah dimengerti sebagai permukaan bumi yang banyak  dihuni oleh makhluk hidup, terutama manusia, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Pencemaran ini terjadi karena masuknya limbah cair atau bahan kimia industri, limbah pertanian dan limbah rumah tangga ke dalam tanah yang akan mengubah metabolisme dan mikroorganisme dalam tanah, memusnahkan spesies dan mengganggu rantai makanan dalam tubuh manusia. Bahan kimia akan meresap ke dalam air bawah tanah sehingga mempengaruhi kualitas air tanah. Hal ini terjadi sebagai akibat penggunaan pupuk, pestisida, dan limbah tidak terurai seperti plastik, kaleng, limbah cair, dan air hujan yang tercampur dengan senyawa kimia di udara. Pencemaran ini akan  berdampak negatif terhadap ekosistem yang hidup di dalam dan di atas tanah. Kualitas hidup manusia juga akan mengalami penurunan sebagai akibat rantai makanan yang tercemar dan  menurunnya fungsi tanah sebagai sumber kehidupan   yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup

2.5.Pencemaran udara

Pencemaran udara dapat disebabkan oleh kejadian alam seperti letusan gunung berapi dan oleh kegiatan manusia di bidang transportasi, industri, kegiatan rumah tangga, dan usaha-usaha komersial. Berbagai kegiatan ini mengakibatkan terjadinya pencemaran udara.  Pembakaran sampah menyebabkan pencemaran udara dalam bentuk senyawa kimia termasuk partikel logam berat. Alat pemantau udara otomatis yang dipasang di 43 stasiun pantau di 10 kota, menunjukkan bahwa terdapat partikel dengan ukuran di bawah 10 mikrometer (PM10) sehingga akan ikut terhirup dan masuk ke dalam pernafasan. Hal ini akan mengganggu kesehatan dan dalam jangka panjang bersifat racun. Kota-kota di Jawa, Bali, Sumatera, dan beberapa kota di Kalimantan yang memiliki kegiatan industri yang padat menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi pencemaran yang lebih tinggi dibandingkan wilayah kota lainnya.
Sejak tahun 1998, Indonesia telah dinyatakan sebagai negara dengan kondisi pencemaran udara di perkotaan yang terburuk di mana tingkat konsentrasi dari tiga jenis parameter yang dipantau yaitu kadar timbal, nitrogen dioksida, dan total padatan tersuspensi melebihi standar WHO. Kadar timbal di udara Jakarta mencapai 29 mg/m3 sedangkan standar WHO hanya 0,5 mg/m3. Penumpukan kadar timbal dalam darah sebesar 10 ug/dl akan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak. Dampak asap dari kebakaran hutan juga dapat menimbulkan sakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), asma, radang paru-paru, dan penyakit mata. Jumlah penderita ISPA di wilayah kebakaran hutan lebih tinggi 1,8 hingga 3,8 kali dibanding sebelum terkena asap. Hasil pembakaran bahan bakar untuk kegiatan industri dan transportasi menghasilkan gas nitrogen di udara yang di perkotaan lebih tinggi 0-100 kali dibandingkan dengan wilayah pedesaan.  Gas ini bersifat racun bagi paru-paru. Standar WHO untuk NO2 adalah 40 mg/m3 sedangkan Jakarta mencapai 250 mg/m3. Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas masyarakat, dapat dipastikan bahwa tingkat konsentrasi dari masing-masing jenis parameter di atas meningkat.

2.6.         Pencemaran air

Indonesia membutuhkan dana Rp 37 trilyun untuk penyediaan air bersih. Kebutuhan air bersih di Indonesia belum memadai. Dari 380 PDAM yang ada di Indonesia, baru sekitar 140 PDAM yang tercatat mampu menyalurkan air yang sehat. Target pembangunan milenium tahun 2015 sebanyak 68% penduduk Indonesia terlayani air bersih belum mampu dicapai karena saat ini yang tercapai baru 47%. Jumlah penderita diare per tahun juga masih sangat tinggi yaitu 120 juta per tahun akibat minimnya air bersih.  Kekurangan air bersih ini semakin diperparah oleh pencemaran air yang dapat diartikan sebagai suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Perubahan ini mengakibatkan menurunnya kualitas air hingga ke tingkat yang membahayakan dan air tidak bisa digunakan sesuai peruntukannya. Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan mencatat bahwa pada tahun 2011 dari 51 sungai besar di Indonesia, 32 di antaranya tercemar berat. Instalasi pengolah air limbah baru terdapat di 11 kota di Indonesia dan hanya mampu melayani 2,5 juta jiwa. Limbah pemukiman, limbah pertanian dan limbah industri  semakin merusak air, baik air permukaan maupun air bawah tanah. Keadaan ini diperparah oleh pemahaman bahwa alam merupakan tempat sampah raksasa yang dapat mengolah limbahnya secara alami, baik limbah cair maupun limbah padat, dan sungai menjadi salah satu media tempat sampah yang paling gampang dipakai. Akibatnya, manusia sendiri yang harus menanggung dampaknya.

2.7.         Sampah

Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas menyatakan bahwa sampah menjadi permasalahan pelik khususnya hampir di setiap kota besar.  Jumlah sampah yang terangkut dan mengalami proses pengolahan masih sangat rendah. Dari 1 juta meter kubik sampah, baru 42% yang dapat diolah dengan baik, sedangkan sisanya menjadi permasalahan lingkungan. Budaya bersih dan usaha mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan masih  jauh dari harapan. Pemikiran bahwa sampah merupakan urusan dan tanggung jawab pemerintah untuk mengelolanya masih sangat kental. Padahal, sampah merupakan sumber pencemar tanah, air, dan udara. Bau yang menyengat dan rembesan air yang mengandung senyawa kimia yang berasal dari pembusukan sampah akan mengganggu kesehatan masyarakat.

2.8.      Perubahan iklim

Dampak perubahan iklim global juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil kajian di tingkat nasional maupun internasional, temperatur rata-rata tahunan Indonesia akan meningkat 0,30C, dan secara keseluruhan kelembaban udara akan berkurang 2-3%, sehingga akan berpengaruh pada curah hujan dan pola bulan basah – bulan kering.Berkurangnya curah hujan akan berdampak pada tingginya resiko kekeringan, ketidakpastian ketersediaan air. Semuanya akan mengganggu kegiatan ekonomi dan kegiatan pertanian sehingga mengancam ketahanan pangan. Di sisi lain, meningkatnya curah hujan akan meningkatkan resiko banjir yang tentunya akan menimbulkan kerugian yang sangat tinggi. Kerugian banjir Jakarta tahun 2007 diperkirakan Rp 4,1 trilyun. Perubahan iklim yang menyebabkan meningkatnya kejadian banjir dan kekeringan otomatis juga akan menyebabkan terjadi penyebaran infeksi dan bibit penyakit seperti malaria dan demam berdarah. Penyebaran infeksi  melalui air dapat berupa diare dan kolera.
Kenaikan suhu juga akan berdampak pada meningkatnya permukaan air laut. Saat ini telah terjadi kenaikan permukaan laut rata-rata 1-3 mm per tahun di wilayah perairan Asia. Padahal sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir. Kegiatan ekonomi di sepanjang 81.000 km wilayah pesisir memberi sumbangan sebesar 25% dari pendapatan nasional. Kenaikan permukaan air laut ini juga akan berdampak kepada banjir, meningkatnya salinitas atau masuknya air asin ke perairan darat. Keduanya akan berdampak pada kegiatan pertanian dan rumah tangga. Bahkan dalam cuaca ekstrim yang menyebabkan kenaikan permukaan laut setinggi satu meter akan mampu menggenangi 405.000 hektar wilayah pesisir terutama bagian utara Jawa, bagian timur Sumatera, dan bagian utara Sulawesi.
Selain itu, gejala penyimpangan suhu, atau yang dikenal dengan nama El Nino akan berdampak pada kematian benih ikan sehingga akan mengurangi ketersediaan ikan bagi manusia.  Penyimpangan suhu juga akan menyebabkan kebakaran hutan. Pada tahun 1997-1998 terjadi kebakaran hutan seluas 9,7  hektar, dan kebakaran lahan gambut, yang selain dipicu oleh kenaikan suhu juga karena pembukaan lahan seluas 2 juta hektar. Padahal lahan gambut memiliki kemampuan mengikat karbon 30 kali lebih tinggi daripada tutupan hutan lainnya. Oleh karena itu, Indonesia menjadi salah satu penyumbang emisi keempat terbesar dunia.

            Mencermati semua kerusakan pada ibu bumi yang berdampak pada situasi sakit yang di alami oleh bumi, Paus Fransiskus dalam Laudato Si Me Signore menegaskan: “Akan tidak berguna untuk menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis tanpa mengakui akarnya dalam manusia.” Dengan pernyataan ini, maka tidak bisa dipungkiri bahwa manusialah yang menjadi penyebab terhadap segala kerusakan yang ada.

                                                          MINGGU II
BUMI SEBAGAI IBU, SAUDARI DAN RUMAH KITA

Tujuan:           Supaya kita menyadari bahwa bumi sebagai ibu, saudari dan rumah kita.

Kitab Suci:

Pokok Pikiran:

1.      IBU BUMI SEBAGAI CIPTAAN TUHAN

Pada awal penciptaan bumi dan segala isinya, Allah melihat semuanya baik adanya, karena  diciptakan dan dikehendaki oleh Alah sendiri. Kitab Kejadian (Kej 1:27) memberikan uraian dengan sangat menarik, bahwa alam semesta (bumi dan segala isinya) diciptakan oleh Allah dalam jangka waktu 6 (enam) hari dan hari ketujuh sebagai hari istirahat. Dengan uraian ini, maka mau digambarkan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, sungguh dikehendaki oleh Allah. Allah menghendaki segala makhluk hidup baik adanya. “Baik” dalam konteks karya penciptaan, tidak hanya berarti indah dan menarik, tetapi juga berguna untuk kehidupan. Tiap-tiap makhluk memiliki nilai intrinsik dan masing-masingnya juga memiliki peran yang berbeda-beda di tengah alam semesta ini. Baik di mata Allah juga berarti segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah itu indah dan sesuai dengan kehendakNya, semuanya sesuai dengan perintahNya.
Di antara makhluk ciptaan yang lain, manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah atau Imago Dei (bdk. Kej. 1:27). Maksud dari pernyataan ini adalah sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia mendapat berkat dari Allah untuk beranak cucu, bertambah banyak, menaklukan dan menguasai ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi (Kej 1:28). Kata “menaklukan” dan “menguasai” tidak berati bahwa manusia diberi hak oleh Allah untuk memanfaatkan dan menggunakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini sesuka hatinya. Atau berpandangan bahwa segala cipataan Allah yang lain hanya untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan hidup manusia semata. Manusia berhak “menguasai” alam semesta dalam arti mengatur, menjaga dan memelihara alam semesta ini agar tetap baik dan menjadi rumah (ibu) bagi semua makhluk hidup. (bdk. Kej 2:15).

2.         IDEAL TENTANG BUMI SEBAGAI IBU, SAUDARI DAN RUMAH KITA:

Pertanyaannya adalah mengapa pada kebanyakan tempat, secara khusus dalam konteks budaya Lamaholot, Bumi oleh nenek moyang disebut sebagai Ibu atau Ibu Pertiwi? Jawaban atas ini didasari pada sebuah refleksi bahwa di atas bumi seorang anak manusia dilahirkan oleh ibunya  dan pada perut bumi seorang anak manusia yang meninggal, akan dibaringkan. Selain itu, seperti seorang ibu yang memberi asi  kepada seorang bayi pada awal menjalani kehidupannya, ibu bumi juga memberikan kehidupan kepada seluruh mahkluk hidup di dunia ini. Manusia makan dan minum dari sari – sari bumi (lewat flora – fauna) dan melalui bumi, manusia memperoleh air untuk menghidupi segala sesuatu.
Paus Fransiskus dalam Laaudato SI me Signore “Terpujilah Engkau Tuhanku”, mengutib nyanyian indah yang diungkapkan oleh St. Fransiskus Asisi, mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau Tuhanku, karena saudari kami ibu pertiwi yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan” (St. Fransiskus Asisi: Nyanyian Saudara Matahari.)

3.         PERILAKU MANUSIA UNTUK MERAWAT IBU BUMI SAUDARI DAN RUMAH KITA.

St. Yohanes Paulus ke II dalam dokumen Solicitudo Rei Socialis (Keprihatinan-Keprihatinan Sosial) menegaskan bahwa kemajuan jaman sebagai hasil dari pengembangan hidup manusia, harus tetap memberikan sikap hormat terhadap makhluk ciptaan. Sikap hormat ini didasari pada tiga pertimbangan:
Ø  Pertama. manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonominya dengan mengorbankan pelbagai golongan ciptaan, entah bernyawa atau tidak, margasatwa, tumbuh-tumbuhan dan unsur alam yang lain. Alam diciptakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia saja, karena itu manusia juga harus mempunyai rasa solidaritas dengan ciptaan yang lain. Ciptaan yang lain juga  membutuhkan pangan dan papan untuk hidup. Kebutuhan hidup manusia dipenuhi dengan tetap memperhatikan kebutuhan hidup makhluk lain.
Ø  Kedua:  manusia perlu menyadari bahwa sumber daya alam yang ada itu terbatas, meskipun ada sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Jika manusia memanfaatkan sumber daya alam tanpa memperhatikan kelangsungan hidup alam itu sendiri karena didorong oleh suatu keyakinan bahwa kekayaan alam yang tidak pernah habis, maka persediaannya akan menipis dan menjadi bencana bagi kehidupan manusia, khususnya generasi yang akan datang. Manusia memang mempunyai hak untuk memanfaatkan ibu bumi, tetapi tidak berhak menghabiskannya.
Ø  Ketiga, pengembangan industri jangan sampai mencemari lingkungan hidup. Sampah dan limbah dari proses industrialisasi hendaknya jangan sampai mencemari lingkungan hidup seperti tanah, air dan udara. Industri yang ramah lingkungan akan membawa kesejahteraan manusia dan semua makhluk. Tetapi industri yang mengotori dan merusak lingkungan hidup akan menjadi bencana bagi semua makhluk hidup. Kemajuan industri sebaiknya tidak hanya memperhatikan kepentingan ekonomis semata, tetapi keuntungan sosial dan ekologisnya juga perlu diperhatikan secara serius.

MINGGU III
KITA DIPANGGIL UNTUK MENYELAMATKAN IBU BUMI.

Tujuan:    Supaya kita menyadari bahwa kita dipanggil untuk menyelamatkan ibu bumi.

Kitab Suci:

PokokPikiran

1.      DASAR PANGGILAN UMUM KRISTIANI (Tiga Sakramen Inisiasi):

Sakramen-sakramen inisiasi meletakkan dasar kehidupan kristiani. Oleh rahmat Sakramen  Pembaptisan kita lahir kembali sebagai manusia baru. Dengan Sakramen Krisma kita diteguhkan Untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia. Dengan Sakramen Ekaristi, kita dikuatkan dengan roti kehidupan abadi dari meja Ekaristi (Cfr. Gagasan Pokok APP 2015: Spiritualitas Agen Pastoral). Kita semua yang telah dimeterai oleh 3 sakramen ini,  menerima rahmat dan kekuatan dari sakramen-sakramen ini untuk mewujudkan tugas-tugas Kristus dalam hidup setiap hari.
Seperti Kristus diurapi Roh Kudus, pada saat Pembaptisan kita juga diurapi (minyak krisma) menjadi nabi, imam dan raja (Tri tugas Kristus) guna mewartakan Injil Kerajaan Allah, dan terlibat dalam panca tugas Gereja yakni kerygma, koinonia, liturgia, diakonia dan martyria. “Sebab kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1Ptr. 2:9).
Berkat sakramen-sakramen inisiasi, semua kita sebagai anggota Gereja, menerima, memiliki dan melaksanakan tiga martabat Kristus, yakni MARTABAT KENABIAN, IMAMAT, dan RAJAWI. Dengan MARTABAT KENABIAN mereka mempunyai tugas mewartakan Injil; dengan MARTABAT IMAMAT, mereka mempunyai tugas menguduskan hidup, terutama dengan menghayati sakramen- sakramen dan hidup doa; dan dengan MARTABAT RAJAWI, mereka mempunyai tugas untuk melayani sesama (Bdk. Pedoman Pastoral Keluarga No.17, KWI, Jakarta: Obor, Jan. 2011), hlm. 15-18). Berkat sakramen sakramen-sakramen inisiasi pula, semua kita yang telah menjadi penyebab terhadap kehancuran ibu bumi, kita pulalah yang bertanggungjawab untuk menyelamatkan ibu bumi.

2.      PANGGILAN UNTUK MENYELAMATKAN IBU BUMI:

St. Yohanes Paulus ke II dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialismenggarisbawahi tanggungjawab manusia bagi pelstarian lingkungan hidup yang bersih dan sehat bagi semua orang. Lebih Lanjut St. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa manusialah yang memegang kendali atas upaya-upaya baik untuk memelihara bumi dengan segala isinya sehingga akan mamapu menanggung kebutuhan hidup semua makhluk.
Lebih lanjut, dalam dokumen Konsili vatikan II, Dekrist Apostolicam Actuositatem menegaskan bahwa dalam Gereja Katolik terdapat aneka pelayanan tetapi satu perutusan. Gereja diutus oleh Allah untuk mewartakan Kabar Gembira di tengah-tengah dunia. Gereja ingin meresapi dan menyempurnakan tata dunia ini dengan semangat injil; yaitu semangat kasih yang membebaskan, menentramkan dan mengembangkan kehidupan. Dalam rangka inilah Gereja sebagai peguyuban umat TERLIBAT  dalam menyelamatkan IBU BUMI.
Gereja ingin membangun dan memberdayakan IBU BUMI dengan segala isinya sebagai tempat yang aman, nyaman dan damai bagi semua makhluk. Bumi dengan segala isinya sebagai RUMAH BESAR BERSAMA dan TAMAN KEHIDUPAN, di mana semua makhluk mampu hidup berdampingan, serasi dan saling melengkapi satu sama lain dalam berbagai perbedaan.

2.1.            Panggilan sebagai  Ciptaan Allah.
Manusia sebagai ciptaan Allah diberi hak dan kuasa untuk memerintah alam ini. Namun kekuasan itu bukan hak prerogratif mutlak manusia, sehingga tidak dapat menguasai alam sekendak hatinya. Manusia bukan juga  raja absolut di dunia ini, ia hanya menjalankan tugas perwalian untuk menata alam ini atas nama Allah sebagai Pencipta yang Mahakuasa. Kuasa Mutlak hanya ada pada tangan Allah. Ia bukan penguasa tertinggi karena ia adalah ciptaan. Maka kekuasaannya adalah kekuasaan yang terbatas. Hal ini nyata dalam perintah untuk mengkonsumsi sumber-sumber alam secara terbatas (Kej 1:29-30) dan dari dikotomis penciptaan manusia (Kej 1:26-28; 2:7).

2.2.            Dipanggil karena memiliki  Gambaran Rupa Allah.
Hal inilah yang membedakan manusia dengan segala ciptaan yang lain. Perbedaan ini merujuk pada diri manusia yang mempunyai kekuasaan terbatas atas ciptaan yang lain. Manusia tidak dapat bertindak sewenang-wenang  dalam memperlakukan bumi dan segala isinya. Dengan memiliki gambaran dan rupa Allah, manusia harus tunduk pada kuasa dan kehendak Allah agar dunia sungguh-sungguh aman untuk keberlangsungan hidup.

2.3.            Panggilan Manusia sebagai Wakil Allah di dunia ini.
Dengan menyadari panggilannya sebagai wakil Allah di dunia ini, umat Katolik harus mulai membiasakan diri untuk mempertimbangkan secara cermat dan matang sebelum mengambil tindakan yang berhubungan dengan IBU BUMI. Tindakan yang ramah akan IBU BUMI, mencegah berbagai dampak negatif terhadap kehidupan semua makhluk, termasuk manusia. Jika kebiasaan hidup yang ramah lingkunagn ini nantinya menjadi kebiasaan bersama (HABITUS SOSIAL) dengan sendirinya IBU BUMI akan tetap baik dan selamanya meenjadi RAHIM yang memberi kesejahteraan bagi manusia.

2.4.            Dipanggil Menjadi pembela kehidupan: (EKOPASTORAL).
Menjadi pembela kehidupan untuk semua makhluk memang tidak mudah serta membutuhkan perjuangan serta pengorbanan yang tidak ringan. Karena itu, keterlibatan umat Katolik untuk merawat, melestarikan dan menyelamatkan IBU BUMI, PUNYA DASAR: IMAN. Iman inilah yang akan memberikan kekuatan kepada umat Katolik untuk terus bergerak, meskipun kesulitan dan tantangan selalu datang menghadang. Keterlibatan umat Katolik dalam merawat, melestarikan dan menyelamatkan ibu bumi inilah yang disebut dengan EKOPASTORAL. (Eko: Ekologi: lingkungan, ibu bumi, ibu pertiwi dan PASTOR: Gembala, pelayan. EKOPASTORAL: Pelayanan yang dilakukan oleh Gereja untuk lingkungan atau ibu bumi)

Menyelamatkan bumi adalah sebuah panggilan dan ini sesungguhnya menjadi sebuh perilaku yang dibangun dalam kebersamaan kita. Karena ia meruapakan sebuah perilaku. maka gaya hidup kita sehari-hari harus berubah dan harus ramah lingkungan. Mulai dari kebutuhan akan makan, minuman, perjalanan, tidur mandi dan lain sebagainya. Apakah perilaku hidup dan kebutuhan kita sungguh telah ramah lingkungan? Misalnya saat membeli makanan: apakah pada saat membeli makanan, kita telah mempertimbangkan dari aspek ramah lingkungan? Singkat kata: dalam mebelanjakan barang atau kebutuhan lain, pertimbangkanlah sampahnya; apa bisa didaur ulang secara cepat? Ataukah tidak beresiko pada sampah?


GAGASAN POKOK MINGGU IV

TANTANGAN KITA DALAM MENYELAMATKAN IBU BUMI.

Tujuan:    Supaya kita menyadari tantangan kita dalam menyelamatkan ibu bumi.

Kitab Suci:

Pokok Pikiran:

1.      MENGAPA PERTOBATAN:
Bumi sebagai ibu, dalam kondisi akhir-akhir ini berada dalam situasi yang memprihatinkan. Bumi sebagai ibu yang “mengandung dan melahirkan” kita,  berada dalam situasi sakit. Bumi sebagai ibu dan saudari kita ini sedang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpahkan kepadanya. Akibatnya; tanah, air dan udara menjadi terbebani dan hancur, karena telah dirusakan oleh kita. Akibatnya ibu bumi “mengeluh” dalam rasa sakit bersalin. Bukan tidak mungkin, kita manusia yang saat ini menyebabkan bumi dalam keadaan sakit, pada saatnya juga kita akan disakiti oleh ibu bumi yang telah merahimi dan memberi kita hidup.
Harus diakui bahwa umat Katolik sedikit banyak juga terlibat dalam berbagai kerusakanlingkungan hidup. Kitalah yang telah menyebabkan ibu bumi kita terluka. Semuanya ini terjadi karena kita memiliki PANDANGAN DAN PARADIGMA, serta KESADARAN yang keliru tentang ibu bumi, yang berdampak pada perilaku dan tindakan yang keliru dalam memperlakukan terhadap ibu bumi.
Berhadapan dengan situasi ini Gereja Lokal Keuskupan Larantuka menyadari bahwa persoalan ekologi yang menggambarkan kerusakan pada ibu bumi, merupakan persoalan yang sangat aktual dalam pekembangan dunia dewasa ini,  yang sudah dan  sedang menjadi agenda pembangunan dunia. Dan untuk membaharui kembali bumi yang telah rusak ini, maka Gereja Lokal Keuskupan Larantuka mengajak semua orang dan pada segala tingkat untuk bertobat dari situasinya dan melibatkan semua penghuni bumi pada segala tingkat untuk menyelamatkan ibu bumi. Maka, Program Pastoral Jangka Pendek Tahap II menetapkan Tahun 2017 sebagai  tahun Ekologi.
Penetapan tahun program ini dilandasi pemikiran bahwa lingkungan hidup adalah bagian integral dari karya pastoral Gereja. Gereja Lokal Keuskupan Larantuka ingin mengajak seluruh umat Katolik dan para pihak yang berkehendak baik untuk memberi perhatian, meningkatkan kesadaran dan kepedulian serta tindakan partisipatif dalam menjaga, memperbaiki, melindungi, dan melestarikan keutuhan ciptaan dari berbagai macam kerusakan demi keadilan dan kebaikan bersama.

2.      Tantangan Kita dalam Menyelamatkan ibu bumi:

Dalam upaya menyelamatkan ibu bumi, ternyata kita juga menghadapi ada sekian banyak tantangan. Tantangan itu bisa datang dari dalam maupun dari luar.

 2.1. Tantangan dari dalam diri misalnya:
ü  SIKAP TIDAK MAU TAHU DAN TIDAK PEDULI terhadap kondisi Ibu Bumi kita. Meskipun kita hanya diam, tetapi diam itu secara tidak langsung juaga ikut melanggengkan kerusakan ibu bumi. Alasan yang sering muncul adalah tidak mau capek,  tidak ingin ribut dengan orang lain atau merasa masalah lingkungan hidup bukan masalah mereka melainkan masalah pemerintah atau pihak-pihak terkait lainnya.
ü  Easy Going. Tebas dan bakar lingkungan dan pekarangan rumah.
ü  Mentalitas antroposentrisme. Berpikir bahwa manusialah yang berkuasa atas alam semesta, karena itu mau ingin menguasai segala yang ada.
ü  Perilaku hidup: membuang sampah di sembarang tempat, memanfaatkan pestisida untuk pemupukan,
ü  Pencemaran tanah dan udara

2.2.         Tantangan dari luar:
ü  Hadirnya investor yang ingin melakukan penambangan emas dll di wilayah keuskupan kita (ANCAMAN).
ü  Penggunaan pukat harimau untuk menangkap dan menjarah segala jenis ikan.

3.      PERTOBATAN EKOLOGIS:

Berhadapan dengan semua situasi ini, maka yang diharapkan dari manusia adalah: PERTOBATAN EKOLOGIS. Pertobatan EKOLOGIS mendorong semua orang untuk berdamai dengan Allah lewat keberanian diri untuk selalu berpandangan positip dan membangun perilaku baru yang lebih MENGHORMATI IBU BUMI. Pertobatan Ekologis bukan hanya soal perasaan dan emosi, tetapi SEBUAH PROSES PERUBAHAN DIRI untuk menjadi pribadi yang mampu menghadirkan keselamatan Allah lewat relasi hidup yang ramah lingkungan.
Pertobatan Ekologis mulai dengan membangun kesadaran ekologis. Kitab Kejadian 1:28 memberikan sumbangan yang amat kaya untuk membangun kesadaran ini, bahwa manusia bersama makhluk ciptaan yang lain adalah sama-sama karya ciptaan Allah. Hanya Sang Pencipta yang tertinggi di dunia ini, Dialah awal dan akhir, asal dan tujuan seluruh ciptaan. Membangkitkan kesadaran ekologis dalam dunia dewasa ini meruapakan hal yang amat penting, untuk mengembalikan manusia pada status sebagai ciptaan.
Di jaman sekarang ini, kesadaran ini mulai luntur. Manusia dengan pola pikir ANTROPOSENTRIMENYA telah menempatkan dirinya sebagai yang tertinggi dan paling berkuasa. Manusia modern cenderung menempatkan dirinya sebagai pusat segala-galanya dan dengan demikian telah membawa banyak kerugian terhadap ibu bumi. PERTOBATAN EKOLOGIS akan menggeser banyak hal, misalnya dari cara pikir: manusia yang menjadi pusat segala-galanya (ANTROPOSENTRISME) berubah menjadi kehidupan semua makhluk menjadi pusatnya (ECOSENTRISME), Pertobatan Ekologis juga mendorong lahirnya kerjasama dalam memanfaatkan alam sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Semua pihak mendapatkan keuntungan secara bersama; antara pengusaha dan masyarakat sipil, sehingga bumi tidak dikuasai oleh orang perorangan tapi sungguh dijaga dan dirawat, dipelihara oleh masyarakat yang ada disekitarnya.
Pertobatan Ekologis juga melahirkan cara pandang yang berubah. Dari pola pikir mengeksploitasi sumber daya alam BERUBAH menjadi pola hidup yang berkelanjutan. Eksploitasi sumber daya alam mempunyai kecenderungan untuk terus memanfaatkan sumber daya alam sampai titik penghabisan, TETAPI dengan menggunakan pola pikir yang berkelanjutan, kekayaan alam yang ada dimanfaatkan seperlunya saja, sejauh dibutuhkan untuk hidup dan bukan ditumpuk demi mengejar keuntungan ekonomis.
Pertobatan EKOLOGIS sebagai sebuah gerakan moral dan iman, sangat penting untuk membangun sebuah ekopastoral. Pertobatan Ekologis, mendorong kita sekalian untuk semakin mencintai dan menyelamatkan ibu bumi kita yang sedang sakit.

GAGASAN POKOK MINGGU V

BERSAMA YESUS YANG BANGKIT KITA MENYELAMATKAN IBU BUMI

Tujuan:           Supaya  bersama Yesus yang bangkit kita menyadari bahwa menyelamatkan ibu bumi.

Kitab Suci:

Pokok Pikiran:

1.      BUMI DICIPTAKAN OLEH TUHAN.

Pada awal penciptaan bumi dan segala isinya, Allah melihat semuanya baik adanya, karena  diciptakan dan dikehendaki oleh Alah sendiri. Kitab Kejadian (Kej 1:27) memberikan uraian dengan sangat menarik, bahwa alam semesta (bumi dan segala isinya) diciptakan oleh Allah dalam jangka waktu 6 (enam) hari dan hari ketujuh sebagai hari istirahat. Dengan uraian ini, maka mau digambarkan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, sungguh dikehendaki oleh Allah. Allah menghendaki segala makhluk hidup baik adanya. “Baik” dalam konteks karya penciptaan, tidak hanya berarti indah dan menarik, tetapi juga berguna untuk kehidupan. Tiap-tiap makhluk memiliki nilai intrinsik dan masing-masingnya juga memiliki peran yang berbeda-beda di tengah alam semesta ini. Baik di mata Allah juga berarti segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah itu indah dan sesuai dengan kehendakNya, semuanya sesuai dengan perintahNya.
Di antara makhluk ciptaan yang lain, manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah atau Imago Dei (bdk. Kej. 1:27). Maksud dari pernyataan ini adalah sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia mendapat berkat dari Allah untuk beranak cucu, bertambah banyak, menaklukan dan menguasai ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi (Kej 1:28). Kata “menaklukan” dan “menguasai” tidak berati bahwa manusia diberi hak oleh Allah untuk memanfaatkan dan menggunakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini sesuka hatinya. Atau berpandangan bahwa segala cipataan Allah yang lain hanya untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan hidup manusia semata. Manusia berhak “menguasai” alam semesta dalam arti mengatur, menjaga dan memelihara alam semesta ini agar tetap baik dan menjadi rumah (ibu) bagi semua makhluk hidup. (bdk. Kej 2:15).
Tapi dalam kenyataannya, manusia telah melakukan pelanggaran. Kepercayaan yang Allah berikan, salah ditanggapinya. Akibatnya; ibu bumi menjadi sakit, dan sekian banyak kehancuran yang terjadi karena keserakahan manusia. Manusia jatuh dalam dosa.

2.      BUMI DISELAMATKAN OLEH YESUS.

Ibu bumi telah mengalami situasi yang memprihatinkan. Dan dalam kondisi ini  Allah tetap mengasihi ciptaanNya dan karena itu Ia ingin menegakkan kembali keharmonisan dan kedamaian di dunia. Untuk itu, Allah sendiri hadir di dalam dunia melalui Yesus Kristus. Ia adalah Allah yang datang kepada milik-Nya sendiri yaitu dunia ini (bdk Yoh 1:1-18), Ia membawa hidupNya bagi dunia supaya dunia supaya dunia ini mempunyai hidup dalam kelimpahan. (bdk Yoh 10:10). Kehadiran Yesus ini juga menggambarkan bahwa alam semesta dengan segala isinya merupakan milikNya yang dikasihiNya. Allah adalah pemilik dan pemelihara segala makhluk. Kehadiran Yesus untuk memperdamaikan manusia dengan Allah, sesama dan lingkungan.
Dalam karya perutusanNya, Yesus memandang IBU BUMI sebagai bagian dari karya penyelamatanNya. Pernyataan ini mengandung konsekuensi bahwa sebagai pengikutNya kita harus lebih peduli terhadap IBU BUMI.

3.         KITA MENGAMBIL BAGIAN DALAM TUGAS KRISTUS UNTUK MENYELAMATKAN IBU BUMI.

Ibu bumi, tidak hanya diciptakan oleh Allah, tetapi ibu bumi juga diselamatkan oleh Yesus Kristus. Jika Kristus saja memandang ibu bumi masuk dalam karya penyelamatanNya, maka semua kita yang percaya kepadaNya harus lebih peduli untuk menyelamatkan ibu bumi. Bersama Roh Yesus yang bangkit, kita didorong untuk terus menjaga, memelihara dan memperbaiki hubungan kita dengan IBU BUMI. Keterlibatan kita yang baik dalam membangun relasi  yang baik dengan ibu bumi merupakan perwujudan iman  Kristiani dimana kita sekalian menghargai kehidupan.

3.1.         Keterlibatan Personal
Keterlibatan umat Katolik dalam menjaga, memperbaiki dan melestarikan lingkungan hidup dimulai secara personal dan dimulai dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu keluarga. Wujud nyata dari keterlibatan personal misalnya: menjaga kebersihan rumah dan sekitarnya, menanam tanaman di pot bagi yang tidak mempunyai halaman luas agar udara segar dan suasana sejuk, membuang sampah pada tempatnya, memilah-milah sampah rumah tangga (organik dan non organik), membawa air minum dari rumah saat bepergian sehingga air yang diminum lebih sehat dan tidak menambah sampah, serta memanfaatkan barang-barang bekas menjadi barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis. Selain itu sistem pertanian yang berubah; dari non organik (pemanfaatan pestisida) kepada organik (dengan pupuk kompos) .

3.2.      Keterlibatan Institusi:
3.2.1.         Keuskupan:
Gerakan untuk menyelamatkan ibu bumi telah menjadi program jangka pendek di tahap ke II ini, dengan memberikan perhatian dengan sebutan sebagai tahu Ekologi. Gerakan ini menjadi perhatian kita bersama pada segala level. Seluruh program keuskupan, hendaknya memperhatikan prioritas akan tahun ekologi ini, dan seluruh stakeholder di Keuskupan harus menempatkan tahun ekologi sebagai program primadona di tahun 2017 ini.
3.2.2.         Paroki
Paroki sebagai ujung tombak keuskupan hendaknya memasukan unsur pastoral lingkungan hidup dalam struktur dewan pastoral paroki dan program kerja dewan paroki.Misalnya dengan membentuk seksi dan team kerja tentang lingkungan hidup yang bertugas untuk merancang kegiatan-kegiatan umat yang berhubungan dengan lingkungan hidup (perawatan terhadap ibu bumi).
Aksi-aksi ekologis dapat dimulai dengan melakukan kegiatan animasi. Animasi (latin: animare) adalah sebuah kegiatan untuk menyadarkan umat Katolik agar lebih ramah terhadap ibu bumi.
3.2.3.         Komunitas Basis Gerejani
Komunitas Basis Gerejani meruapakan struktur gereja yang paling kecil. Ia merupakan kumpulan dari beberapa keluarga untuk membantuk sebuah komunitas. Bila keluarga-keluarga yang membentuk sebuah KBG, berkomitmen untuk secara bersama-sama merawat lingkungan di sekitar KBGnya, menjadikan KBGnya sebagai KBG yang hijau, indah dan asri, maka bukan tidak mungkin bumi kita juga telah diselamatkan.

3.3.            Animasi Ekopastoral:
Animasi untuk membangun kesadaran bersama untuk MENYELAMATKAN IBU BUMI, adalah gerakan bersama yang harus dibangun pada semua struktur dan pada segala level. Gerakan ini menjadi gerakan bersama kita sekalian yang berada di bumi. Ekopastoral kita hendaknya  disemangati oleh ROH YESUS YANG BANGKIT yang membawa dampak:
Ø  Kita semakin sadar akan peran dan tanggungjawab kita sebagai ciptaan Tuhan untuk merawat, menjaga dan melestarikan ibu bumi.
Ø  Kita semakin sadar bahwa kemiskinan dan kemelaratan tidak menjadi alasan untuk menghalalkan segala cara dalam memancaatkan ibu bumi.
Ø  Kita semakin mampu menghargai nilai-nilai intrinsik yang ada pada setiap makhluk hidup.

Ø  Kita semakin peka, kritis dan peduli dengan berbagai kerusakan alam yang ada di sekitar kita.

MENGAIS FENOMENA BURUH MIGRAN

"MENGAIS FENOMENA BURUH MIGRAN"

RM.  MARIANUS WELAN,  PR
PENDAHULUAN:
Migrasi merupakan bagian dari mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk ada yang bersifat nonpermanen (sementara) misalnya turisme baik nasional maupun internasional, dan ada pula mobilitas penduduk permanen (menetap). Mobilitas penduduk permanen disebut migrasi. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan melewati batas negara atau batas administrasi dengan tujuan untuk menetap.
1. PENGERTIAN MIGRASI
Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk dari tempat yang satu ke tempat yang lain.
Ada 2 jenis migrasi:
Migrasi internasional:  merupakan perpindahan penduduk yang melewati batas suatu negara ke negara lain.
Migrasi internal: merupakan perpindahan penduduk yang berkutat pada sekitar wilayah satu negara saja.
Migrasi Internasional: masih dibagi atas 3:
•      Imigrasi, yaitu masuknya penduduk dari suatu negara ke negara lain dengan tujuan menetap. Orang yang melakukan imigrasi disebut imigran. Afganistan ke Indonesia
•      Emigrasi, yaitu keluarnya penduduk dari suatu negara ke negara lain. Orang yang melakukan emigrasi disebut emigran. Indon ke Malay
•      Remigrasi atau repatriasi, yaitu kembalinya imigran ke negara asalnya.
WNI yg ada di Malaysia, kembali ke Indonesia.
2. SEJARAH SINGKAT MIGRASI INDONESIA
Sejarah migrasi Indonesia memiliki hubungan dengan sejarah perkembangan masyarakat secara ekonomi politik, walaupun ada pengaruh lainnya.Berangkat dari latarbelakang ini: maka diketahui praktek migrasi yang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu di sebuah negeri kepulauan besar yang disebut Nusantara (sekarang Indonesia) tidak terlepas dan menjadi bagian dari perkembangan masyarakat.
Migrasi awal dalam sejarah Indonesia ditandai dengan kedatangan suku bangsa asing yang membawa dan memperkenalkan sebuah sistem ekonomi baru yang didasarkan pada hubungan kepemilikan budak. Dan inilah satu masa yang menjadi titik mula diawalinya praktek penindasan satu klas terhadap klas yang lain, di mana satu suku bangsa menjadi klas tuan budak dan kelas yang lain dipaksa menjadi budak.
Dalam perkembangannya kemudian, kedatangan para pedagang yang memiliki latar belakang Islam baik dari Gujarat, India maupun Cina telah menimbulkan pertentangan dengan tuan-tuan budak sebagai penguasa sebelumnya yang berlatar belakang Hindu dan Budha. Semakin berkembangnya perdagangan dan masuknya Islam ke Nusantara menandai peralihan ke zaman Feodalisme, ditandai dengan berkembangnya pertanian dan lahirnya kaum tani.
2.1. Zaman PRA KOLONIAL:
Sejarah Indonesia sebelum masuknya kolonialisme asing terutama Eropa, adalah sejarah migrasi yang memiliki karakter atau sifat utama berupa perang dan penaklukan satu suku bangsa atau bangsa terhadap suku bangsa atau bangsa lainnya. Pada periode yang kita kenal sebagai zaman pra sejarah, maka dapat diketemukan bahwa wilayah yang saat ini kita sebut sebagai Indonesia, telah menjadi tujuan migrasi suku bangsa yang berasal dari wilayah lain. Tahun 2000 atau 3000 sebelum Masehi, suku bangsa Mohn Kmer dari daratan Tiongkok bermigrasi di Indonesia karena terdesaknya posisi mereka akibat berkecamuknya perang antar suku.
Kedatangan mereka dalam rangka mendapatkan wilayah baru, maka mendorong mereka  untuk  menaklukan suku bangsa lain yang telah berdiam lebih dulu di Indonesia.
Karena mereka memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi berupa alat kerja dan perkakas produksi serta perang yang lebih maju, maka upaya penaklukan berjalan dengan lancar. Selain menguasai wilayah baru, mereka juga menjadikan suku bangsa yang dikalahkannya sebagai budak.
Pada perkembangannya, bangsa-bangsa lain yang lebih maju peradabannya, ke Indonesia, mula-mula sebagai tempat persinggahan dalam perjalanan dagang mereka, dan kemudian berkembang menjadi upaya yang lebih terorganisasi untuk penguasaan wilayah, hasil bumi maupun jalur perdagangan.
Misalnya
Kedatangan suku bangsa Dravida dari daratan India -yang sedang mengalami puncak kejayaan masa perbudakan di negeri asalnya- , berhasil mendirikan kekuasaan di beberapa tempat seperti Sumatra dan Kalimantan. Mereka memperkenalkan pengorganisasian kekuasaan dan politik secara lebih terpusat dalam bentuk berdirinya kerajaan kerajaan Hindu dan Budha. Puncaknya: Kerajaan Majapahit
Bidang Perdagangan, terjadi emigrasi dari para saudagar dan pedagang dari daratan Arab yang kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan Islam baru di daerah pesisir pantai untuk melakukan penguasaan atas bandar-bandar perdagangan. Berdirinya kerajaan Islam telah mendesak kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha ke daerah pedalaman, dan mulai memperkenalkan sistem bercocok tanam atau pertanian yang lebih maju dari sebelumnya berupa pembangunan irigasi dan perbaikan teknik pertanian, menandai mulai berkembangnya zaman feodalisme.
Pendatang dari Cina juga banyak berdatangan terutama dengan maksud mengembangkan perdagangan seperti misalnya ekspedisi kapal dagang Cina di bawah pimpinan Laksamana Ceng Hong yang mendarat di Semarang.
Pada masa ini juga sudah berlangsung migrasi orang-orang Jawa ke semenanjung Malaya yang singgah di Malaysia dan Singapura untuk bekerja sementara waktu guna mengumpulkan uang agar bisa melanjutkan perjalanan ke Mekah dalam rangka ziarah agama.
Demikian juga orang-orang di pulau Sangir Talaud yang bermigrasi ke Mindano (Pilipina Selatan) karena letaknya yang sangat dekat secara geografis.
Ciri-ciri Migrasi Awal: Pra kolonial:
Wilayah Nusantara menjadi tujuan migrasi besar-besaran dari berbagai suku bangsa lain di luar wilayah nusantara. Sekalipun pada saat itu belum dikenal batas-batas negara, tetapi sudah terdapat migrasi yang bersifat internasional mengingat suku-suku bangsa pendatang berasal dari daerah yang sangat jauh letaknya.
Motif atau alasan terjadinya migrasi pertama-tama adalah ekonomi (pencarian wilayah baru untuk tinggal dan hidup, penguasaan sumber-sumber ekonomi dan jalur perdagangan) dan realisasi hal tersebut menuntut adanya kekuasaan politik dan penyebaran kebudayaan pendukung.
Proses migrasi tersebut ditandai dengan berlangsungnya perang dan penaklukan, cara-cara yang paling vulgar dalam sejarah umat manusia.
Migrasi juga telah mendorong perkembangan sistem yang lebih maju dari masa sebelumnya seperti pengenalan organisasi kekuasaan yang menjadi cikal bakal negara (state) dan juga sistem pertanian.
2. 2. PERIODE KOLONIAL:
Proses migrasi: dikontrol oleh kebijakan dan kekuasaan kolonial. Contoh, pada masa awal kolonialisme, VOC mulai berkuasa. VOC-lah yang menetukan system pemerintahan, termasuk mengatur migrasi yang terjadi pada masyarakat. Tujuannya; membantu  perdagangan maupun mengelola pertanian di Batavia dan gelombang kedatangan mereka telah membentuk perkampungan Cina di Batavia. Pada perkembangan berikutnya, jumlah orang Cina yang bermigrasi ke Indonesia mengalami peningkatan pesat ketika dibukanya perkebunan-perkebunan asing baik di Jawa maupun Sumatra Timur pada akhir tahun 1900 an di mana sebagian besar dari mereka dijadikan buruh perkebunan.
Demikian juga pada abad 18 dan 19, kolonialisme Belanda melakukan ekspor manusia dari Manggarai NTT ke negara-negara Eropa sebagai budak.
Bahkan pada akhir abad ke 19, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan baru di Sumatra Timur, pemerintah kolonial Belanda mengirim ribuan orang Jawa ke Sumatra untuk diperkerjakan sebagai buruh di perkebunan seperti perkebunan tembakau maupun juga pabrik gula.
Ekspor orang Jawa ternyata tidak hanya ke Sumatra Timur tetapi juga ke Suriname, Kaledonia Baru dan juga Vietnam. Pemerintah kolonial Belanda menutupi praktek ekspor manusia ini dengan bungkus program Politik Etis atau Balas Budi yang mereka sebarluaskan akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Catatan penting pada masa kolonial bahwa migrasi yang berlangsung pada waktu itu sepenuhnya didominasi oleh kebijakan kolonial yang diabdikan untuk kepentingan negeri kolonial. Terutama dalam hal pengerahan atau mobilisasi tenaga kerja murah ke tempat-tempat di mana sumber keuntungan kolonial berada, dan pada saat yang bersamaan telah membawa jutaan manusia dari berbagai asal usul etnis dan bangsa ke dalam situasi penderitaan yang sangat berat.
2.3. PERIODE PASCA KOLONIAL (MULAI DIHITUNG: SEJAK KEMERDEKAAN RI: 17 AGUSTUS 1945.)
Walaupun sudah namun keadaan ekonomi, politik dan kebudayaan tidak mengalami perubahan secara mendasar.
Indikator:
Ekonomi Indonesia masih tetap di bawah dominasi ekonomi kolonial sekalipun tidak secara langsung. Imperialisme (kapitalisme monopoli asing) khususnya Amerika Serikat masih menjadi pihak yang mendominasi Indonesia dalam berbagai aspek khususnya ekonomi.
Pada masa Soeharto, Indonesia menjadi sasaran empuk imperialisme asing (AS, Inggris, Jepang) sehingga posisinya tidak lebih sebagai penyedia bahan mentah karena kekayaan alamnya, sumber buruh murah sekaligus pasar yang menggiurkan mengingat penduduknya yang melimpah.
Pada masa pemerintahan Soeharto, laju migrasi internasional meningkat pesat. Artinya, semakin banyak orang terutama perempuan dan berasal dari keluarga tani miskin di desa yang menjadi buruh migran di negeri lain seperti Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, Singapura, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea dan sebagainya.
Pada prakteknya, para buruh migran mengalami penderitaan dan penindasan semenjak direkrut oleh calo, penyalur atau agen, saat berada di penampungan, selama bekerja di luar negeri dan sesampainya kembali di Indonesia. Masih berlakunya ekonomi kolonial di Indonesia telah membuat angkatan kerja yang ada memiliki tingkat pendidikan dan kecakapan yang sangat rendah. Dengan keadaan seperti itu, maka bisa dipastikan bahwa sebagian besar buruh migran Indonesia hanya mengisi jenis pekerjaan dengan tingkat ketrampilan rendah dan upah yang sangat murah seperti misalnya pembantu rumah tangga
Pemerintah yang telah menjadi frustasi karena tidak mampu memecahkan masalah pengangguran lantas menjadikan ekspor manusia sebagai andalan. Pemerintah beranggapan bahwa buruh migran menjadi salah satu pemecahan masalah penyediaan lapangan pekerjaan dan pada saat yang sama peningkatan pendapatan negara. Sesungguhnya mengapa pemerintah sangat bersemangat menggalakkan ekspor buruh migran, salah satunya karena merupakan ladang emas bagi para aparatusnya yang korup. (Pahlawan Devisa?)
Sebagai akibat berlakunya ekonomi kolonial, maka terjadi perkembangan ekonomi yang tidak merata : antara desa dengan kota, antar daerah dalam satu propinsi, antar propinsi, antara pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Di daerah-daerah yang ekonominya lebih terbelakang terdapat surplus (jumlah berlebih) tenaga kerja yang lebih besar dan tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Hal ini mendorong penduduk untuk melakukan migrasi guna mencari pekerjaan termasuk dengan bekerja di luar negeri, baik secara resmi maupun tidak resmi.
NTT, NTB, dan Kalbar menjadi contoh konkret dari keadaan tersebut, di mana dengan tingkat perkembangan ekonomi yang sangat lambat, ketiga propinsi tersebut menjadi penyumbang besar bagi buruh migran yang bekerja di luar negeri.
3. MIGRASI DALAM PANDANGAN BIBLIS
3.1. KONTEKS PL:
A. ZIARAH ADAM:
            Kitab suci mencatat  bahwa ziarah yang paling pertama adalah ziarah  Adam: ziarah yang bermula dari tangan sang pencipta ketika  dia memasukii dunia ciptaan, sebuah perantauan tanpa tujuan, jaun dari taman  Eden (bdk. Kej 3:23-24; 4:15). Ziarah Adam ditandai dengan penyalagunaan kebebasan dan  ketidaktaatannya, namun Allah berkomitmen mendampinginya.
B. ABRAHAM:
            Ziarah Abraham  menjadi pola sejarah keselamatan sendiri sesuai yang dihayati oleh umat beriman. Bahasa yang digunakan, langkah-langkah perjalanannya dan relasi yang dibangunnya menyatakan bahwa ziarahnya sudah merupakan eksodus keselamatan, antisipasi ideal eksodus seluruh bangsa Israel (Kej. 12:1-4). Karena Iman, Abraham diam di sebuah tanah asing bersama Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahliwaris itu.Mereka semua adalah orang asing dan pendatang di bumi (Ibr. 11:8-10,13).
C. ZAMAN FIRAUN:
            Dari Mesir dalam pemerintahan Firaun, mulailah  ziarah eksodus yang agung. Berbagai tahap keberangkatan umat Israel, perantauannya di padang gurun yang kering, batu ujian dan pencobaan, dosa ketidaktaatan, masuknya ke dalam tanah yang dijanjikan, telah menjadi pola suri teladan keselamatan seluruh umat beriman (Bdk. 1Kor. 10:1.13).
            Eksodus menjadi kenangan yang menggairahkan ketika mereka kembali dari pembuangan di Babilonia. Deutro Yesaya  mencatat bahwa keluaran baru dikenangkan dalam nada syukur ketika Israel merayakan Paska (bdk. Yes. 43:16-21). Tujuan akhir dari ziarah Israel adalah persekutuan sepenuhnya dengan Allah dalam penciptaan yang baru (bdk. Keb.19).
D. PEMBEBASAN ISRAEL:
            Israel tidak berziarah sendiri. Allah selalu mendampingi mereka selama 40 tahun lamanya melwati padang gurun yang besar. Allah senantiasa mengingatkan mereka untuk tidak melupakan sejarah ketika mereka mulai menempati tanah yang baru: “janganlah menindas dan menekan orang asing, sebab kamu pun dahulu orang asing di tanah Mesir” (Bdk. Ul.10:19).
3.2. KONTEKS PB
Peziarahan suci berpuncak pada peristiwa inkarnasi. Semua umat manusia boleh melewati “jalan kebenaran dan hidup” (bdk. Yoh. 14:6). Ia sendiri rela turun dari kemapanannya sebagai Allah dan menjadi sama seperti manusia. Kelahiran Yesus berada dalam sebuah proses di jalan, mereka sedang dalam ”perjalanan” (bdk. Lk 2:1-7).
Ketika masih bayi, bersama kedua orangtuanya pergi ke Kenisah di Sion (bdk. Luk. 2:22-24), mereka harus mengungsi ke Mesir (bdk. Mt. 2:13-23). mengidentifikasikan diriNya sebagai orang asing (Bdk. Mt 25,35),  pengembara yang tidak mempunyai tempat untuk meletakan kepala (bdk. Lk 9,58), yang meninggalkan keluarga, tanah dan harta milik (Mt 10,28-31), menekuni perjalanannya menuju sebuah tanah air, Yerusalem (Lk. 9:51).
3.3. MIGRASI DALAM KONTEKS GEREJA:
Seperti Yesus di zamannya, Gereja saat ini berziarah melewati kota dan desa, melintasi batas-batas geogafis, batas budaya, kehidupan soisal, politik, ekonomi dan agama. Dalam peziarahan itu, Gereja membawa semangat Yesus yang solider dengan semua mereka yang miskin, terlantar dan yang menjadi asing dari tanah airnya. Gereja  mengambil bagian dalam kegembiraan dan harapan umat manusia,dalam kecemasan dan dukacitanya, berdiri bersama setiap lelaki dan perempuan  dari setiap tempat dan masa, guna membawa bagi mereka kabar baiktentang Kerajaan Allah, (GS, art.1).
Gereja yang dipersatukan oleh Kristus yang bangkit dan yang telah diperintahkan untuk menerima tugas perutusan “mewartakan Kerajaan Allah”, dan mendirikannya di tengah semua bangsa (Bdk. GS art. 76, LG art.  1, 5). Di sana Gereja menunjukkan peran misyonernya  menjadi“tanda dan perlindungan transendensi pribadi manusia”.
4. VISI MIGRASI DALAM KONTEKS GEREJA
            Migrasi adalah sebuah tanda zaman  yang mengandung harapan dan kegelisahaan yang perlu ditafsir dalam terang injil (bdk.GS art. 4).  Migrasi  menjadi salah satu jalan untuk mempromosikan  martabat manusia dan membangun dialog antar agama dan budaya lain, kaum migran sebagai obyek kasih keibuan gereja (obyek evagelisasi) dan sekaligus subyek  evagelisasi yakni pewarta-pewarta  injil yang handal (bdk. Evangelii Nuntiandi, 14; Pesan Paus Benediktus XVI untuk hari migran dan pengungsi tahun 2012 dalam majalahl’Osservatore Romano, no.43-26 oktober 2011).
Dalam kaca mata kristen migrasi (yang dipanggil keluar-ecclesia) adalah sebuah tanda peyelenggaraan ilahi (providensia). Orang-orang yang dipanggil keluar adalah  pribadi-pribadi yang adalah gambaran Allah sendiri.
Kaum buruh migran dan perantau tidak  boleh dianggap sebagai sebuah komoditas. Mereka adalah seorang manusia, dan karena itu, mempunyai hak-hak yang fundamental, dan tidak dapat dicabut yang harus dihormati oleh setiap orang dan di dalam setiap keadaan.(bdk. Caritas in Veritate art. 62).  Misi gereja(ad gentes) dalam dunia kontemporer adalah membawa cintakasih kepada semua manusia terutama mereka yang terasing dari tanah airnya  agar mereka bisa menemukan wajah Kristus (Bdk. Mt 25,35; Porta Fidei art. 6; Pesan Bapa Suci pada Hari minggu Misi ke-86).
5. PERHATIAN PASTORAL KITA:
Persoalan Pastoral Migran kita:
             Dari semua hal tersebut di atas kelihatan kompleksitas masalah yang dialami buruh migran di Keuskupan Larantuka,  baik dalam hal jenis maupun lokus dan penyebabnya. Jika ditarik satu benang merah, akar-akar persoalannya adalah  proses migrasi yang tidak aman(illegal) karena itu menulai banyak masalah, tidak produktif (lemahnya SDM dan managemen remitasi) dan tidak bermartabat ( tidak berprespektif HAM).
Harapan bersama tentang  Pasroral Migran dan Perantau di Keuskupan Larantuka yakni Umat Keuskupan Larantuka bermigrasi secara bermartabat, aman dan produktif.Perhatian kita lebih besar ke arah migrasi internasional sambil tidak melupakan migrasi  internal. Migrasi nasional atau internasional hendaknya  tetap melihat aspek-aspek:
a. Apek martabat:
            Berhubungan dengan eksistensi manusia sebagai subyek dari migrasi yang memiliki identitas, integritas, religiositas,  dan kebebasan untuk bermigrasi tanpa tekanan;
b. Aspek aman:
            Berhubungan dengan dokumen-dokumen yang dituntut, jaminan hidup dan keselamatan, peran dari institusi-institusi yang bertanggungjawab;
c.Aspek produktivitas:
            Dalam hubungan dengan tata kelola remitansi dan keahlian (SDM) untuk kehidupan pribadi dan keluarga.
PENUTUP
            Arus buruh migran dan peratau di wilayah keuskupan Larantuka, menutut Gereja Umat Allah di Keuskupan Larantuka untuk meminta tanggapan yang bijaksana. Adalah baik bila kita bersama-sama membedah persoalan ini dalam terang injil dan membumikannya melalui peran misyoner gereja. Kerjasama multi pihak menjadi penting  ketika kita berhadapan dengan segudang masalah yang ditimbulkan akibat migrasi yang tidak beraturan dan tidak aman. “Kasih Kristus menguasai kita” (2Kor 5:14)